Perpustakaan dan museum di Asia sedang mengalami transformasi signifikan, beradaptasi dengan era digital untuk tetap relevan dan menarik audiens baru. Ini bukan hanya tentang mendigitalkan koleksi, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman interaktif menggunakan teknologi seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan Metaverse.
Banyak institusi kini menawarkan tur virtual 360 derajat, pameran online, dan aplikasi yang memungkinkan pengunjung menjelajahi artefak atau buku dengan detail yang belum pernah ada sebelumnya. Upaya ini memastikan bahwa warisan budaya dapat diakses oleh masyarakat luas, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil dengan digital divide.
Selain itu, perpustakaan modern bertransformasi menjadi pusat komunitas dan inovasi, menyediakan ruang co-working untuk Digital Nomad, laboratorium maker space, dan kelas E-Learning tentang topik seperti coding atau desain grafis. Mereka menjadi lebih dari sekadar tempat menyimpan buku, tetapi juga pusat pembelajaran seumur hidup.
Tantangan utama adalah pendanaan dan menjaga keseimbangan antara pelestarian fisik dan akses digital. Namun, dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas, perpustakaan dan museum Asia semakin sukses menjadi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan digital.
Perpustakaan dan museum di Asia beradaptasi di era digital dengan mendigitalkan koleksi dan menciptakan pengalaman interaktif menggunakan AR/VR/Metaverse. Mereka juga menjadi pusat komunitas dan inovasi, meskipun menghadapi tantangan pendanaan dan keseimbangan pelestarian fisik dan akses digital.

