Ancaman populisme di politik Asia Tenggara telah menjadi fenomena yang semakin meresahkan, dengan dampak signifikan terhadap institusi demokrasi dan tata kelola yang baik. Pemimpin populis seringkali naik ke tampuk kekuasaan dengan janji-janji sederhana namun menarik, menyalahkan kelompok elit atau minoritas atas masalah masyarakat, dan mengklaim sebagai “suara rakyat” yang sejati. Gaya politik ini, meskipun populer, seringkali mengikis norma-norma demokrasi dan memperlemah checks and balances.
Kenaikan populisme di Asia Tenggara dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk ketidakpuasan terhadap ketimpangan ekonomi, korupsi, dan kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah sosial. Pemimpin populis mahir dalam memanfaatkan frustrasi publik dan menyalurkannya menjadi dukungan politik yang kuat, seringkali melalui retorika yang memecah belah dan kampanye yang emosional. Media sosial juga memainkan peran krusial dalam mempercepat penyebaran pesan-pesan populis.
Dampak populisme terhadap demokrasi di Asia Tenggara sangat beragam. Ini dapat menyebabkan polarisasi politik yang ekstrem, di mana masyarakat terbagi menjadi “kita” dan “mereka.” Institusi demokrasi seperti peradilan, legislatif, dan media independen seringkali menjadi sasaran serangan, dituduh sebagai bagian dari “elit” yang harus dilawan. Hal ini dapat berujung pada erosi kebebasan sipil, pembatasan ruang bagi perbedaan pendapat, dan konsolidasi kekuasaan di tangan satu individu atau partai.
Untuk mengatasi ancaman populisme, diperlukan upaya kolektif dari masyarakat sipil, media, dan lembaga demokrasi untuk memperkuat pendidikan kewarganegaraan, mempromosikan literasi media, dan menuntut transparansi dari pemerintah. Membangun institusi demokrasi yang kuat dan responsif, serta mengatasi akar masalah seperti ketimpangan ekonomi, adalah kunci untuk melindungi demokrasi di Asia Tenggara dari gelombang populisme.

